Framenews.id, Buol – Sidang Pembacaan Dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap Mada Yunus atas tuduhan melakukan pendudukan lahan perkebunan sawit dan penghasutan petani digelar di Pengadilan Negeri Buol, Rabu (19/3/2025) pukul 11.30 WITA.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam surat dakwaannya yang dibacakan, mendalilkan, bahwa Mada Yunus pada hari Senin 8 Januari 2024 sekitar pukul 10.00 WITA atau pada suatu waktu dalam tahun 2024 bertempat di lahan Koperasi Tani Plasma awal Baru yang beralamat di Desa Balau dan Desa Maniala, Kecamatan Tiloan, Kabupaten Buol, provinsi Sulawesi Tengah atau pada tempat-tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Buol, Terdakwa telah melakukan perbuatan Secara tidak sah yang mengerjakan, menggunakan, menduduki dan/atau menguasai Lahan Perkebunan. Sebagaimana pasal 107 huruf (a) Jo. pasal 55 huruf (a) Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan.
Selain itu Mada Yunus juga didakwa telah melakukan perbuatan di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan Undang-Undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasarkan ketentuan UU.
Atas dakwaan tersebut, Tim Penasehat Hukum (PH) yang mendampingi Mada Yunus, yakni dari LBH Pogogul Justice, yang diwakili oleh Budianto Eldist, SH, menyatakan, pihaknya akan mengajukan Eksespsi terkait dengan Dakwaan JPU Kajari Buol atas permintaan Mada Yunus.
” Terdapat perbedaan mendasar dari penuntut umum, apalagi ini adalah urusan keperdataan, juga bersesuaian dengan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) RI quasi Peradilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta terkait locus dan tempus bahwa dakwaan kabur, obscuur libel, untuk lebih detailnya akan dituangkan dalam materi eksepsi nantinya,” terang Budianto.
Mada Yunus kepada wartawan menyatakan, tuduhan pidana terhadap dirinya tersebut tidak benar, apa yang dilakukannya selama ini adalah memperjuangkan tanah keluarga dan tanah garapannya yang ditanami sawit oleh PT. Hardaya Inti Plantations (HIP) untuk kemitraan sawit dengan Koperasi Tani Awal Baru.
Pasalnya menurut Mada, lahan tersebut dijadikan kebun kemitraan tanpa persetujuan pihaknya, dan karena janji pengurus koperasi Awal Baru bahwa keluarga Mada akan dimasukan sebagai peserta atau anggota koperasi tidak dipenuhi selama lahan tersebut dikelola pihak perusahaan.
” Sehingga kami bersama dengan rekan-rekan petani yang juga menderita kerugian dalam praktik kemitraan tersebut melakukan aksi penghentian sementara operasional kebun sawit di lahan-lahan mereka untuk menuntut keadilan atas hak-hak kami yang dirampas,” ungkap Mada.
Koordinator FPPB Angkat Bicara Atas Kasus Mada Yunus
Sementara itu, Koordinator Forum Petani Plasma Buol (FPPB) Fatrisia Ain, dalam rilisnya, menegaskan, pengadilan atas aktivis tani Mada Yunus, seharusnya tidak ada.
“Ini kasus dipaksakan sekali, dugaan kami ini bukannya tidak berdasar. Sebab, pelapor dari Mada Yunus adalah Ketua Koperasi Awal Baru dengan dukungan pihak perusahaan PT HIP yang sebenarnya secara alas hak juga perlu dipertanyakan karena Pengurus Koperasi Awal Baru maupun PT HIP tidak memiliki hak penuh atas seluruh lahan-lahan yang telah dituntut oleh Mada selama bertahun-tahun, apalagi menurut pengakuan anggota-anggota koperasi lainnya selama bertahun-tahun pembagian sisa hasil usaha tidak pernah ada kecuali 35 ribu per hektar dana jatah hidup di tahun 2017,” tulis Fatrisia Ain dalam rillisnya.
Dirinya menambahkan, sebagai yang menjabat ketua koperasi, yang bersangkutan juga sudah pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Buol atas dugaan penggelapan uang Koperasi Awal Baru bersama dengan Sekretaris dan Bendaharanya pada tahun 2021.
” Tetapi anehnya tidak berlanjut kasus tersebut tanpa kejelasan. Ini juga menjadi pertanyaan mengapa pihak kepolisian tidak melanjutkan kasusnya. Tahun lalu di 2024, Suleman Batalipu ini juga disidangkan atas laporan pihak PT. HIP karena diduga melakukan penipuan dan penggelapan terkait dengan uang yang diberikan PT. HIP untuk pembuatan Serifikat lahan-lahan anggota di koperasi Awal Baru, namun begitu, kami justru mendengar bahwa perkara itu dicabut oleh penggugat yakni PT. HIP lantaran Sertifikat-Sertifikat lahan yang telah terbit yang justru merupakan (diterbitkan) oleh Pemerintah Buol melalui program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) di lokasi yang sama dengan objek lahan koperasi Awal Baru sudah berhasil dipegang oleh PT. HIP melalui penyitaan pihak Kepolisian Polda Sulteng sebagai barang bukti,” tambah Fatrisia.
Lanjut Fatrisia, laporan-laporan petani sudah hampir setahun sejak Surat Tanda Penerimaan Laporan (STPL) dikeluarkan tidak ada progres oleh pihak kepolisian selain Surat Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) yang baru-baru ini keluar setelah adanya pemeriksaan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) karena aduan yang dibuat pihak petani.
“Apalagi bisa sampai dalam tahap persidangan, rasanya seperti menunggu keajaiban saja. Sehingga wajar kami memiliki penilaian bahwa perkara atas aktivis-aktivis tani yang membela HAMnya selama ini, termasuk Mada Yunus terkesan dipaksakan. Sebab, setiap laporan dari pihak perusahaan, ataupun pengurus koperasi yang bahkan belum melaksanakan kewajibannya untuk Rapat Anggota selama 3 tahun belakangan tersebut bisa diproses dengan cepat oleh kepolisian, termasuk kasus Mada Yunus,” sesalnya.
Dalam perkara Mada Yunus, ini Fatrisia menilai, kasusnya tidak terlepas dari persoalan yang itu-itu lagi, yakni akibat praktik buruk dalam pelaksanaan program kemitraan pembangunan kebun sawit yang dikelola oleh perusahaan inti PT. Hardaya Inti Plantations di kabupaten Buol, dimana kemitraan ini dibangun di atas lahan-lahan milik para petani Buol yang tidak hanya tergabung di satu Koperasi plasma Awal Baru saja, tetapi juga di 6 koperasi tani lainnya.
“Para petani pemilik lahan tidak mendapatkan bagi hasil kebun kemitraan dari PT. HIP secara adil selama lahannya jadi objek kebun kemitraan yang sudah dibangun sejak tahun 2008 – 2011, sebagian besar SHM tanah petani yang dijaminkan di Bank pemberi kredit pembangunan kebun pun juga kini telah diambil alih-ditahan oleh PT. HIP tanpa persetujuan para pemilik, maka wajar petani sebagai pemilik lahan melakukan tuntutan atas haknya dengan berbagai upaya,” katanya.
Fatrisia membeberkan, FPPB dalam temuannya menemukan adanya permasalahan dengan SK Bupati tentang penetapan nama petani dan lahan untuk kemitraan yang diterbitkan pemerintah Buol. Sebab, kenyataannya banyak petani yang memiliki lahan yang telah digarap tidak dimasukan dalam SK Bupati, termasuk kasus Mada Yunus dan keluarganya ini. ” Namun ada pula orang yang tidak memiliki lahan justru masuk dalam SK Bupati. Bahkan, pada kasus Koperasi plasma lainnya dari pegawai hingga pejabat di Buol namanya dimasukkan sebagai petani peserta kemitraan plasma di SK Bupati,” bebernya.
Masalah kedua, kata Fatrisia, diatas lahan kemitraan pembangunan kebun koperasi Awal Baru, pada tahun 2016 dijadikan obyek program TAURAT (tanah untuk rakyat) oleh pemerintahan Bupati dr. Amirudin Rauf melalui program PTSL, sehingga subyeknya tidak bersesuaian dengan subyek dalam SK Bupati untuk kemitraan inti-plasma program revitalisasi.
“Jadi ada orang yang memiliki SHM (Sertifikat Hak Milik) program TAURAT (Tanah Untuk Rakyat) tetapi tidak masuk dalam SK Bupati tersebut, artinya tidak masuk dalam anggota koperasi. Sebaliknya subyek atau orang-orang yang dimasukan dalam SK Bupati tidak seluruhnya sebagai pemegang SHM dalam lahan Koperasi Awal Baru,” lanjutnya.
Dengan berbagai masalah tersebut, lanjut Fatrisia, semestinya pendekatan penyelesaian masalah kemitraan kebun sawit ini bukan dengan cara-cara kriminalisasi atau pidana semacam itu, sebab tidak akan pernah menyelesaikan masalah, justru memperburuk tata kelola sawit di Buol.
” Apalagi sudah ada putusan sidang majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) RI, yang menyatakan bahwa perusahaan PT. HIP telah secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 35 Ayat (1) Undang Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang UMKM. Yang dikuatkan dengan putusan Pengadilan Niaga (PN Jakarta Pusat) yang menolak gugatan banding perusahaan di tahun 2024. Putusan tersebut harusnya dapat menjadi acuan baik oleh pemerintah daerah maupun APH dalam menangani masalah konflik kemitraan ini,” tegasnya.
Dirinya meminta, Pemerintah Daerah Buol maupun Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah harusnya lebih aktif untuk mengambil langkah dalam penyelesaian masalah tersebut, mendengar secara adil tuntutan masyarakat terdampak kemitraan. Agar kedepan tata kelola sawit menjadi baik, termasuk urusan kemitraan pembangunan kebun sawit antara perusahaan dengan petani tidak terus-terusan menjadi praktik perampasan hak-hak ribuan rakyat kecil di Buol.
“Kami berharap Bupati Buol dan Wakil Bupatinya yang baru menjabat ini, memiliki komitmen baik dan adil dalam menyelesaikan masalah kemitraan ini sebagai pimpinan rakyat. Tidak seperti pemerintahan sebelumnya yang gagal menyelesaikan. Karena jika dibiarkan berlarut-larut akan lebih banyak mengorbankan para petani, dan memperburuk tata kelola sawit. Kriminalisasi terhadap petani kerap diabaikan oleh pemerintahan sebelumnya, kemitraan ini sudah mengorbankan 5 orang Buol yang dipenjara pada tahun 2021 karena memperjuangkan hak-haknya,” terangnya.
” Sekarang kriminalisasi Mada Yunus dan 25 petani lainnya yang mendapat panggilan polisi atas laporan perusahaan, ini harus dihentikan. Jangan sampai petani yang dilanggar hak-haknya selama belasan tahun justru mendapat pelanggaran HAM lagi hanya karena berjuang atas tanahnya sendiri,” tutup Fatrisia.
RED









