BuolOpini

Rembuk Budaya: Saatnya Budaya Didengar, Bukan Hanya Dipamerkan

×

Rembuk Budaya: Saatnya Budaya Didengar, Bukan Hanya Dipamerkan

Sebarkan artikel ini

Oleh: Rahman Asnawi

Di tengah gegap gempita modernisasi dan digitalisasi, kita sering kali lupa bahwa budaya bukan sekadar warisan — ia adalah jati diri, arah, dan jiwa dari sebuah bangsa.

Sayangnya, budaya kerap diletakkan di pojok, dianggap simbolik semata. Diperlihatkan dalam seremoni, tapi jarang diajak bicara dalam proses pembangunan.

Advertisement
Example 300x600
Scroll untuk lanjut membaca

Di sinilah pentingnya Rembuk Budaya — sebuah ruang di mana budaya tak hanya dipertontonkan, tapi didengarkan.

Rembuk Budaya bukan sekadar forum diskusi. Ia adalah upaya mengembalikan budaya ke panggung utama peradaban.
Dalam forum ini, tokoh adat, seniman, budayawan, generasi muda, akademisi, hingga birokrat duduk bersama. Mereka membicarakan bukan hanya masa lalu, tetapi masa depan: bagaimana budaya bisa hidup, beradaptasi, dan bahkan memimpin arah perubahan.

Yang menarik, forum ini tak bersifat instruktif, melainkan partisipatif. Di sinilah keunikan dan kekuatannya. Karena budaya bukan produk pabrik yang bisa diciptakan lewat kebijakan teknokratik. Budaya tumbuh dari tanah, dari laku hidup, dari ingatan kolektif masyarakat. Maka, siapa lagi yang lebih paham cara merawatnya selain mereka yang hidup di dalamnya?

Namun, Rembuk Budaya juga bukan tanpa tantangan. Banyak warisan budaya belum terdokumentasi dengan baik. Tak sedikit komunitas adat yang perlahan-lahan kehilangan bahasa, cerita, dan ruang hidup mereka. Globalisasi — meskipun membawa banyak manfaat — juga membawa gelombang homogenisasi yang mengikis keunikan lokal. Bahkan di ranah kebijakan, urusan budaya masih sering jadi anak tiri dibanding sektor ekonomi atau infrastruktur.

Karena itu, Rembuk Budaya bukan tujuan akhir. Ia harus jadi awal dari langkah-langkah nyata: digitalisasi budaya, pelibatan generasi muda, penguatan komunitas adat, dan penyusunan peta jalan kebudayaan berbasis wilayah. Pemerintah perlu memfasilitasi, tetapi juga harus memberi ruang sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk memimpin.

Budaya bukan sekadar warisan, tetapi daya tahan. Bangsa yang mampu merawat budayanya adalah bangsa yang tahu arah. Dalam dunia yang berubah cepat, budaya adalah jangkar sekaligus kompas. Maka, mari kita dorong agar Rembuk Budaya tidak berhenti di forum — tapi hidup dalam kebijakan, program, pendidikan, dan ruang publik kita.

Karena pada akhirnya, yang kita pertaruhkan bukan hanya cerita masa lalu. Tapi juga martabat, arah, dan masa depan kita bersama sebagai bangsa. ***

Example 300x600
Example 300x600
error: DILARANG MENGCOPY KONTEN TANPA IZIN REDAKSI FRAMENEWS.ID