Framenews.id, Bangkok – Di ruang besar Convention Centre PBB (UNCC) Bangkok, sorot lampu putih jatuh ke meja panjang yang dipenuhi para diplomat, menteri, peneliti, hingga aktivis dari berbagai negara Asia dan Pasifik. Di layar besar terpampang tema forum: “Anchoring Progress and Strengthening Regional Leadership on Human Rights through Crisis.”
Forum yang digelar tanggal 16 – 19 September 2025 ini adalah pertemuan yang digagas PBB untuk mempertemukan para pemangku kepentingan lintas sektor—pemerintah, korporasi, akademisi, dan masyarakat sipil—dalam mendorong praktik bisnis yang menghormati hak asasi manusia. Tahun ini, diskusi terasa semakin relevan di tengah gejolak krisis global, mulai dari konflik agraria, transisi energi, rantai pasok mineral kritis, hingga perang tarif.
Di antara ratusan peserta dengan jas resmi dan pakaian diplomatik, hadir seorang perempuan muda dari Sulawesi Tengah, Fatrisia Ain. Dengan selendang haruas khas Buol tersampir di pundak, ia membawa suara yang jarang sekali mendapat ruang dalam forum megah semacam ini: Suara petani Sulawesi, perempuan dan pemuda desa, buruh perkebunan, dan komunitas yang hidupnya tergerus oleh praktik bisnis-bisnis yang tak adil.
Fatrisia Ain adalah Ketua Jaringan JAGA DECA, sekaligus juru bicara Forum Petani Plasma Buol (FPPB) organisasi akar rumput yang selama lebih dari satu dekade mengadvokasi hak-hak petani di lingkar perkebunan sawit Sulawesi Tengah. Kehadirannya di Forum RBHR PBB 2025 bukan sekadar simbol partisipasi, melainkan sebuah perlawanan: Bahwa masyarakat desa pun berhak dan harus diberi ruang bicara di panggung global.
Suara dari Akar Rumput di Tengah Para Menteri
Pada hari pembukaan, Fatrisia naik ke podium sebagai pembicara dalam sesi bertajuk “Regional Leadership in Action: National Action Plans as Pathways to Stronger Standards.” Di sampingnya duduk para menteri dan peneliti dari empat negara, sesi ini dipandu langsung oleh perwakilan UNDP.
Ketika mikrofon dinyalakan, ia menatap sejenak ke arah peserta yang memenuhi ruangan, lalu membuka dengan tegas:
“Masyarakat adat, perempuan, pekerja migran, dan penduduk desa adalah pihak yang paling merasakan dampak pelanggaran HAM. Tapi ironisnya, mereka justru jarang diajak bicara sejak awal. Bahkan ketika ada konsultasi jauh dari kata bermakna, sering kali hanya formalitas, singkat, teknis, top down dan tidak menyentuh realitas hidup mereka.” tegas Fatrisia.
Ia menyinggung pengalaman nyata dari Sulawesi Tengah. Konflik agraria di lingkar perkebunan sawit skala besar, dampak serius industri mineral kritis seperti nikel, hingga kerusakan lingkungan yang menekan ruang hidup masyarakat desa.
Padahal, pemerintah Indonesia telah memiliki Perpres No. 60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan HAM serta MoU antara Pemprov Sulawesi Tengah dan Kementerian HAM RI (April 2025) untuk menyelesaikan konflik agraria berbasis HAM. Namun, implementasi di lapangan masih jauh panggang dari api.
“Framework hanya akan efektif bila diciptakan bersama pihak yang paling terdampak: masyarakat. Tanpa itu, mandatory Human Rights Due Diligence yang digaungkan oleh PBB dan para pemimpin dunia hanya menjadi latihan administratif sekadar centang kotak bukan instrumen perlindungan yang nyata bagi komunitas.” terang Fatrisia.
Suasana ruangan hening. Banyak peserta tampak mencatat. Seorang diplomat Jepang bahkan terlihat mengangguk pelan.
Belajar dari Gerakan Akar Rumput di Indonesia dan India
Beberapa hari kemudian, Fatrisia kembali ke podium. Kali ini berbicara dalam sesi “A Rights-Holder Led Approach to Corporate Accountability: Lessons from grassroots movements in India and Indonesia.” Ia berdampingan dengan juru bicara Gerakan Anti Posco-Jindal dari India dan CHRD.
Sesi ini mempertemukan dua cerita, perlawanan masyarakat desa di India terhadap perampasan lahan oleh industri baja transnasional, dan perjuangan petani Indonesia menghadapi ekspansi perkebunan sawit milik korporasi.
Dengan suara bergetar namun penuh keyakinan, Fatrisia menggambarkan kondisi pedesaan yang ia dampingi selama empat tahun terakhir:
“Kami di desa menyaksikan hutan hilang, tanah dirampas, sumber air bersih tercemar, dan kehidupan berubah drastis. Banyak perempuan, pemuda, petani, dan buruh menjadi korban, banyak yang terpaksa bermigrasi. Tapi kami belajar: Jika hanya menunggu langkah pemerintah, penyelesaian sulit untuk tuntas. Maka kami memilih upaya perjuangan kolektif secara mandiri, meski kecil dan menghadapi serangan yang berat, namun gerakan-gerakan sejati Masyarakat telah menunjukkan ketahanan yang luar biasa, juga dengan menggunakan dan menguji kerangka hukum nasional maupun mekanisme non-yudisial internasional.” terangnya.
“Oleh karenya perlu dicatat, bahwasanya terdapat banyak keterbatasan inheren dari framework yang berlaku, ketidakseimbangan kekuatan yang dihadapi oleh komunitas terdampak, dan kebutuhan mendesak akan respons kelembagaan yang berakar pada kesetaraan, partisipasi, dan keadilan” tambahnya.
Kata-katanya menggema di ruangan. Beberapa peserta dari lembaga-lembaga internasional tampak terharu. Bagi banyak orang di forum itu, inilah pengingat bahwa statistik dan regulasi hanyalah angka kosong tanpa kisah nyata dari para pemegang hak yang terdampak.
Risiko Menjadi Pembela HAM
Namun, berdiri di podium dunia tidak membuat jalan Fatrisia aman. Ia sendiri adalah korban dari risiko yang melekat pada para pembela HAM. Ancaman SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation), pengawasan, intimidasi fisik dan mental, serangan daring, hingga kriminalisasi adalah bagian dari kesehariannya sebagai aktivis akar rumput.
“Menjadi pembela HAM dari desa berarti siap dilabeli, diintimidasi, bahkan dikriminalisasi,” ujarnya lugas. “Tapi kalau pemuda dan masyarakat diam, penderitaan akan semakin panjang. Kami memilih untuk bersuara dan beraksi.”
Diplomasi Akar Rumput
Selain tampil di panggung utama, Fatrisia Ain juga aktif dalam diplomasi senyap. Ia mengadakan pertemuan bilateral dengan pejabat OHCHR, UN Working Group on BHR, hingga UN Special Rapporteurs. Dalam pertemuan-pertemuan itu, ia menyampaikan kritik yang jarang terdengar:
· Mekanisme HAM internasional belum community-based dan sulit diakses oleh masyarakat desa.
· Sertifikasi ‘sustainability’ bagi korporasi terlalu teknis dan jauh dari realitas lapangan.
Aparat bersenjata sering dilibatkan untuk menghadapi warga dengan dalih objek vital nasional dan proyek strategis nasional.
Lemahnya sanksi internasional terhadap investasi asing dan rantai pasok yang tidak akuntabel, yang justru memperpanjang pelanggaran HAM.
Dari Buol ke Panggung Dunia
Kehadiran Fatrisia di Forum PBB 2025 menjadi bukti bahwa suara orang desa bisa menembus dinding forum global. Ia duduk sejajar dengan para menteri, diplomat, dan pejabat tinggi dunia—namun yang ia bawa bukan kepentingan elite, melainkan suara petani, buruh kebun, perempuan dan pemuda desa, serta masyarakat adat.
Pesannya sederhana, namun kuat: Pembangunan tanpa keadilan sosial hanya akan memperdalam pelanggaran hak bagi rakyat yang sudah serba kesulitan.
Dari Bangkok, suara pemuda Buol terdengar. Sebuah suara yang lahir dari tanah yang terancam, tapi juga dari perjuangan rakyat yang tak pernah padam. Dan di forum dunia yang megah itu, Fatrisia Ain mengingatkan kita semua: Keadilan sejati selalu lahir dari bawah.
RED