Di rantau, anak Buol dipanggil bukan sekadar untuk mengenang, tapi menjaga akar budaya dan menyambung ranting persatuan. IKIB dan KKBI bukan lawan, tapi saudara. Perbedaan bukan alasan untuk retak, tapi peluang untuk menguat. Karena Buol hanya akan besar jika kita bersatu, bukan saling mendahului.
Oleh: Sofyan Joesoef, SH MH
Framenews.id, Palu – Setiap kita yang lahir atau berdarah Buol, pasti menyimpan satu hal yang sama, kerinduan pada akar. Pada tanah yang menyimpan cerita-cerita masa kecil, bahasa yang akrab di telinga, pada rasa yang tak tergantikan meski kita telah lama bermukim di rantau. Buol bukan hanya nama kabupaten, ia adalah identitas, rumah batin, dan tanah pusaka yang hidup dalam dada.
Namun di tanah rantau, ketika kita dipisahkan oleh jarak dari kampung halaman, ada tugas baru yang justru semakin penting, merawat akar agar tak lapuk, dan menyambung ranting agar tak patah oleh angin zaman.
Dua tugas ini sejatinya tidak bisa diemban sendiri, melainkan bersama. Di sinilah keberadaan organisasi-organisasi seperti IKIB dan KKBI menjadi sangat relevan, bahkan esensial.
Tapi hari ini, kita melihat dinamika yang berkembang bukan lagi tentang siapa yang paling giat menjaga budaya, melainkan siapa yang paling layak menjadi representasi.
Lalu perlahan, semangat persaudaraan terkikis oleh perdebatan tentang siapa yang lebih sah, lebih besar, atau lebih dulu.
Padahal, dalam kearifan orang Buol yang diwariskan dari generasi ke generasi, tidak ada kebesaran yang dibangun di atas perpecahan.
Tidak ada kemuliaan dalam merasa lebih tinggi dari saudara sendiri. Yang ada adalah rasa hormat, mompoguh, dan saling menopang demi nama baik leluhur.
Kita perlu kembali pada semangat awal. IKIB dan KKBI bukan dua kutub yang harus berseberangan. Mereka adalah dua ranting yang tumbuh dari akar yang sama, kecintaan pada Buol.
Bila ranting itu saling menjauh dan saling menyakiti, maka pohon besar bernama Persaudaraan Buol akan goyah. Namun jika ranting-ranting itu saling menyapa, saling terhubung, maka bayangannya akan menaungi generasi kita dan mereka yang akan datang.
Mari kita jaga perbedaan ini sebagai anugerah, bukan pemisah. Biarkan setiap organisasi tumbuh dengan perannya masing-masing, tanpa saling menghakimi.
Mari bersaing dalam cinta, bukan dalam dendam. Mari saling menunjukkan bahwa kita sama-sama ingin yang terbaik untuk Buol, baik dari segi pelestarian budaya, penguatan identitas, maupun kontribusi nyata dalam pembangunan.
Sebagai anak Buol di rantau, kita punya tanggung jawab moral untuk menjaga nama baik daerah kita, bukan hanya dengan kata-kata indah di forum, tetapi dengan sikap bijak dalam menyikapi perbedaan. Karena apa artinya kita bicara adat dan budaya, jika dalam praktik kita justru menjauhkan sesama saudara?
Kita semua sedang menulis cerita. Bukan cerita tentang siapa yang paling hebat, tapi tentang siapa yang paling ikhlas menjaga akar dan paling rajin menyambung ranting.
Agar pohon bernama Buol ini tumbuh subur, rindang, dan menjadi tempat berteduh yang damai bagi semua anak cucu kita kelak.**
Penulis adalah : Advokat Peradi Sulteng









