Buol, Framenews.id – Penahanan Mada Yunus, petani asal Kabupaten Buol, yang videonya viral di media sosial, memantik gelombang kritik dan keprihatinan dari berbagai pihak.
Forum Petani Plasma Buol (FPPB) menilai kasus tersebut merupakan bentuk nyata SLAPPs (Strategic Lawsuit Against Public Participation) – strategi hukum untuk membungkam rakyat yang memperjuangkan hak atas tanah dan lingkungan.
“Ini bukan sekadar penegakan hukum. Ini bentuk kriminalisasi terhadap rakyat kecil yang menuntut keadilan,” tegas Fatrisia Ain, Juru Bicara FPPB, dalam pernyataan sikap yang diterima redaksi, Kamis (6/11/2025)
Menurut Fatrisia, kasus Mada Yunus dipaksakan untuk menghentikan perjuangan petani lain yang menuntut hak kemitraan sawit di Buol.
“Mada hanyalah satu dari banyak korban. Sejak 2021, sudah ada lima petani yang dipenjara, dan hingga 2024 ada 23 orang petani serta pembela HAM yang mengalami kriminalisasi serupa,” ujarnya.
FPPB menyoroti lemahnya sikap pemerintah daerah dalam menangani konflik kemitraan sawit antara petani dan PT Hardaya Inti Plantation (HIP). Padahal, perusahaan tersebut telah dinyatakan bersalah oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU RI) atas pelanggaran kemitraan.
“Pemerintah daerah tahu ada ketimpangan dalam kemitraan ini, tetapi mereka membiarkan. Bahkan ikut andil dalam carut-marut yang terjadi,” tambah Fatrisia.
Video viral di media sosial memperlihatkan keributan di Gedung Kejaksaan Negeri Buol pada Rabu (5/11), saat eksekusi terhadap Mada Yunus berlangsung. Dalam rekaman itu, tampak aparat berusaha membawa Mada dengan paksa, disertai teriakan histeris dari keluarga yang berada di lokasi.
Adik terpidana, Masnia Yunus, yang menyaksikan langsung kejadian tersebut, mengaku terkejut.
“Waktu itu kakak saya cuma izin ke toilet, tiba-tiba dipiting lehernya dari belakang. Kami panik, apalagi itu terjadi di dalam kantor kejaksaan, bukan di luar,” katanya.
Kericuhan itu menimbulkan tanda tanya publik, terutama karena dilakukan di area tertutup dan disaksikan aparat keamanan lain yang berada di tempat kejadian.
FPPB menilai peristiwa ini menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Buol, karena laporan para petani atas dugaan kekerasan dan penipuan yang mereka alami sebelumnya tidak pernah ditindaklanjuti.
“Laporan Mada, almarhumah istrinya, dan anaknya yang pernah dianiaya saat hamil tak pernah diproses. Tapi saat perusahaan melapor, hukum begitu cepat,” kata Fatrisia.
Ia menyerukan agar pemerintah daerah dan aparat penegak hukum bersikap adil dan presisi dalam menangani konflik agraria.
“Hukum dibuat untuk memberi rasa aman bagi rakyat, bukan untuk melindungi korporasi besar yang jelas melanggar hukum,” tegasnya.
Dalam penutup pernyataannya, Fatrisia menyeru seluruh rakyat di tanah Pogogul untuk bersatu melanjutkan perjuangan hak atas tanah dan lingkungan.
“Mau sampai kapan kita diam dan pura-pura sibuk, sementara rakyat terus ditindas di tanah sendiri?” katanya.
Sebelumnya, Kejaksaan Negeri Buol mengeluarkan keterangan resmi yang menjelaskan bahwa tindakan eksekusi terhadap Mada Yunus telah dilakukan berdasarkan putusan hukum yang berkekuatan tetap (inkracht).
Dalam siaran pers tertanggal 5 November 2025 dengan nomor B-245/P.4.16/Euh.4/11/2025, disebutkan bahwa:
“Kejaksaan Negeri Buol pada hari Rabu, 5 November 2025, telah melaksanakan eksekusi terhadap terpidana Mada Yunus berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Buol Nomor 45/Pid.Sus/2023/PN BOL tanggal 22 Mei 2024, yang menyatakan terpidana bersalah melakukan tindak pidana di bidang perkebunan tanpa izin yang sah.”
Dalam rilis tersebut dijelaskan pula bahwa sebelumnya Kejari Buol telah memanggil terpidana secara patut untuk melaksanakan putusan pengadilan. Namun karena tidak kooperatif, tim jaksa melakukan upaya jemput paksa dengan pengawalan aparat keamanan.
“Pelaksanaan eksekusi berjalan sesuai prosedur hukum. Adapun video yang beredar di media sosial hanya menampilkan sebagian kejadian dan tidak menggambarkan konteks sebenarnya,” tegas Plt. Kepala Seksi Intelijen Kejari Buol, Arbin Nu’man, S.H., dalam keterangan tertulisnya.
Kejari Buol juga mengimbau masyarakat untuk tidak terprovokasi oleh informasi yang belum tentu benar, serta memastikan bahwa seluruh tahapan eksekusi dilakukan dengan menjunjung asas profesionalitas dan kemanusiaan.
[ */RED | Framenews.id ]









