PERISTIWA DILI SANTA CRUZ
Persitiwa Dili 12 September, dipimpin Wakil Komandan (Wadan) Batalyon 700 Raider Gerhan Lantara. Dikemudian hari, sempat menjadi jenderal. Gerhan ini, anak dari Brigjen Andi Lantara. Pak Gerhan Lantara terakhir bintang tiga, Letjend. Sekarang sudah pensiun.
Sosok Moris Diak, kata Harun Pelango, di kepung oleh Batalyon 700 Raider, ditangkap hidup-hidup. Peristiwa penangkapan Moris Diak ini lebih dulu dari peristiwa Santa Cruz.
“ Moris Diak kami tahan. Dipimpin pak Gerhan Lantara. Beliau pak Gerhan ini pasukannya di Timtim, Batalyon 744. Setelah menamatkan Akmil (Letnan dua), beliau ditempatkan di Batalyon
744 ini” kisahnya.
Tugas Gerhan saat itu untuk menyukseskan operasi, dia membentuk Tim Samodo. Samodo ini nama ular
berbisa di Timtim. Panjangnya 80 cm, berwarna hijau, dan sangat berbisa. Di kepala ular Samodo ada semacam jarum. Kalau tertusuk, pasti daging dan kulit kita membiru.
“Kalau sudah kena gigitan ular Samodo, kita langsung diberikan pisau kecil, lalu disedot darahnya. Kemudian ditaru obatnya di tempat yang sakit. Namanya obat anti bisa ular (abu). Masalahnya obatnya itu harus dibawa dengan suhu harus dingin. Alat suntiknya mirip suntikan KB yang cukup besar. Warnanya seperti air sabun. Kalau ke hutan cari juga pelepah pisang, itu obat taru dalam pelepah pisang, supaya tetap dingin. Kalo so bening dibuang saja. Karena sudah
tidak mujarab lagi, “ papar Harun.
Menurut Harun, Gerhan Lantara ini dua kali naik pangkat luar biasa. Dari Letnan satu naik Letnan dua. Kemudian, dari Letnan satu ke Kapten. Belum waktunya Kapten beliau sudah Kapten duluan.
“Karena beliau ini gila di lapangan. Hobby bertempur, “ sebutnya.
“Pak Gerhan ini waktu di Makassar Sulawesi Selatan, satu sekolah dengan Pak Longki Djanggola. Sama-sama SMA di Makassar, “ kata Harun.
Setelah menamatkan sekolah Suslapa, beliau dinaikan pangkatnya menjadi Mayor. Dengan jabatan sebagai Wakil Komandan Batalyon (Wadan Yon) Linud 700 Raider Kodam VII Wirabuana.
Diakhir penugasan operasi militer di Timtim, Harun Pelango dan kawan-kawan terisolasi dengan peristiwa Santa Cruz. Saat itu, Sintong Panjaitan adalah Panglima Kodam IX Udayana, berpangkat
Mayjen.
“Pak Sintong saat itu Panglima, ketika peristiwa Santa Cruz terjadi, danmengakhiri operasi Seroja ini, “ ujarnya.
“Saat penarikan pasukan kami masih berada di Timtim 1996. Pasukan kami lah yang terakhir pergi dari Timtim, “ kata Harun lagi.
“Pasukan lain sudah tidak ada. Tinggal pasukan kami dari Batalyon 700 yang ada di Timtim saat itu, “ tambahnya.
Begitu juga saat dilakukannya jajak pendapat, Batalyon 700 masih tetap berada di Timtim 1998-1999. “Dorang Ambang itu yang tatinggal, “ sebutnya.
Ambang adalah anak dari Elly Allo, anggota Kompi C 711 Rakssatama yang ikut operasi Seroja 1977-1978. Nama lengkap Ambang adalah Ramlan Elly. Dia masuk tentara remaja, dan tugas di Batalyon 700, hampir bersamaan dengan Harun Pelango di Batalyon 700.
Saat pulang, mereka melihat tidak ada lagi barak-barak tentara. Semua sudah kosong, ketika peralihan Timor Timur menjadi negara baru dan merdeka Timor Leste.(***)
Didedikasikan untuk Hari Infanteri atau Hari Daya Juang Kartika TNI AD, 15 Desember.
Penulis adalah Pimred pada FrameNews.id